HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Payment ID: Antara Transparansi dan Potensi Pengawasan Berlebihan Terhadap Rakyat Kecil


Ambarawa Terkini -- Bank Indonesia (BI) disinyalir akan meluncurkan sistem pembayaran digital baru bernama Payment ID pada 17 Agustus 2025 . 

Konon, sistem ini digadang-gadang sebagai bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 yang bertujuan menciptakan sistem keuangan yang transparan dan bertanggung jawab. 

Namun, di balik janji-janji manis transparansi, muncul kekhawatiran besar akan potensi pengawasan berlebihan terhadap keuangan warga, terutama masyarakat kecil yang selama ini berjuang di tengah himpitan ekonomi.

Menurut Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dudi Dermawan, Payment ID disinyalir akan menjadi kode unik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang mengintegrasikan seluruh aktivitas keuangan individu. Ini berarti, setiap transaksi, setiap rupiah yang masuk dan keluar dari kantong kita, berpotensi terekam dan terhubung dengan identitas pribadi kita. Bayangkan, data dari rekening bank, e-wallet, kartu kredit, hingga riwayat pinjaman online (pinjol) dan investasi, disinyalir semuanya akan terpusat. 

BI mengklaim Payment ID memiliki tiga fungsi utama:

•Kunci Identifikasi: Untuk membentuk data profil pelaku sistem pembayaran.

•Kunci Otentikasi: Sebagai alat untuk otentikasi data dalam pemrosesan transaksi.

•Kunci Agregasi: Untuk menghubungkan data profil individu dengan data transaksional yang lebih rinci.

Secara teori, ini terdengar canggih. Pemerintah disinyalir bisa memantau pendapatan dan pengeluaran, mendeteksi penipuan, bahkan memverifikasi kelayakan penerima bantuan sosial (bansos) agar lebih tepat sasaran

Namun, janji-janji ini perlu dicermati dengan kacamata kritis. Apakah benar ini semata-mata untuk kebaikan rakyat, atau ada agenda tersembunyi yang berpotensi merugikan?Ancaman Privasi dan Potensi Penyalahgunaan Data Kekhawatiran terbesar terletak pada isu privasi dan potensi penyalahgunaan data. 

Meskipun BI berjanji akan menjaga keamanan dan kerahasiaan data pribadi, serta memerlukan persetujuan pemilik data untuk akses pihak ketiga, sejarah telah menunjukkan bahwa data, sekecil apapun, selalu rentan terhadap kebocoran atau penyalahgunaan. 

Siapa yang bisa menjamin data keuangan miliaran rakyat Indonesia akan aman dari tangan-tangan jahil atau kepentingan politik tertentu?Para pengamat juga disinyalir telah mengingatkan pentingnya implementasi yang tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) untuk mencegah risiko kebocoran data dan penggunaan data di luar tujuan awal. 

Namun, apakah UU PDP kita sudah cukup kuat untuk menghadapi sistem pengawasan sebesar ini? Jangan sampai rakyat kecil yang selama ini hidup pas-pasan, tiba-tiba terjerat masalah hukum atau kesulitan akses layanan hanya karena sistem ini membaca aktivitas keuangannya secara sepihak.Rakyat Kecil dalam Bayang-Bayang Pengawasan

Bagi masyarakat Ambarawa dan sekitarnya, yang mayoritas adalah pekerja informal, petani, atau pedagang kecil, sistem seperti Payment ID ini disinyalir bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, mungkin ada harapan bansos bisa lebih tepat sasaran. Namun, di sisi lain, potensi pengawasan yang ketat ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan ketakutan. 

Bagaimana jika aktivitas keuangan mereka yang serba terbatas, yang seringkali tidak tercatat secara formal, justru menjadi bumerang?"

Payment ID disebut 'sangat powerful' karena dapat memantau berbagai aktivitas keuangan, mulai dari pendapatan, pengeluaran, hingga riwayat pinjaman online (pinjol)."

Narasi bahwa Payment ID akan mendeteksi penipuan atau judi online memang terdengar mulia. Namun, apakah ini juga berarti setiap transaksi kecil, setiap transfer antar keluarga, atau setiap pinjaman dari tetangga akan diawasi dan dianalisis? Jangan sampai niat baik untuk memberantas kejahatan justru mengorbankan kebebasan finansial dan privasi masyarakat yang tidak bersalah.

Posting Komentar