Sumbangan 17 Agustus dengan Nominal Minimal: Partisipasi Wajib atau Pungli Terselubung?
![]() |
Gambar ilustrasi |
Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus selalu disambut dengan gegap gempita di seluruh penjuru negeri. Dari desa hingga kota, berbagai kegiatan seperti perlombaan, panggung hiburan, dan upacara menjadi agenda wajib. Namun, di balik semaraknya perayaan, seringkali muncul satu persoalan klasik: pendanaan.Baru-baru ini, muncul sebuah praktik yang patut dipertanyakan di salah satu daerah.
Panitia perayaan 17 Agustus mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI, dan Polri untuk memberikan "sumbangan" demi menyukseskan acara. Masalahnya, surat edaran tersebut tidak murni bersifat sukarela, karena mencantumkan nominal minimal yang harus disetorkan.Praktik semacam ini, meskipun mungkin dilandasi niat baik untuk memeriahkan hari kemerdekaan, sejatinya telah melenceng dari koridor hukum dan etika. Ia mengubah semangat gotong royong menjadi sebuah kewajiban yang berisiko tinggi menjadi pungutan liar (pungli).
Untuk memahami mengapa praktik ini bermasalah, kita perlu membedakan secara tegas antara "sumbangan" dan "pungutan".
•Sumbangan: Bersifat sukarela, ikhlas, dan tidak mengikat. Pemberi sumbangan tidak dipaksa dan besaran nominalnya tidak ditentukan. Inilah esensi dari gotong royong.
•Pungutan: Bersifat wajib, mengikat, dan besarannya ditentukan. Pungutan hanya sah jika memiliki dasar hukum yang jelas, seperti Undang-Undang atau Peraturan Daerah (Perda). Contoh pungutan resmi adalah pajak dan retribusi.
Ketika sebuah panitia—yang notabene tidak memiliki wewenang hukum untuk memungut dana—menetapkan nominal minimal dalam surat edarannya, maka sifat "sukarela" dari sumbangan tersebut otomatis hilang. Permintaan itu berubah menjadi pungutan yang tidak sah.
Tindakan panitia yang menetapkan nominal minimal sumbangan tidak dapat dibenarkan secara hukum dan berpotensi besar menjadi pungutan liar.
1. Tidak Adanya Dasar Hukum
Panitia perayaan 17 Agustus tingkat daerah tidak memiliki landasan hukum apa pun untuk mewajibkan ASN, TNI, Polri, atau siapa pun untuk membayar sejumlah uang. Kewenangan untuk melakukan pungutan melekat pada negara dan diatur secara ketat. Tanpa payung hukum yang sah, setiap pungutan adalah ilegal.
2. Unsur-Unsur Pungutan Liar (Pungli)
Menurut Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), sebuah pungutan dapat dikategorikan sebagai pungli jika:
•Dilakukan oleh oknum aparatur negara atau pihak lain di tempat yang seharusnya tidak ada biaya.
•Tidak didasarkan pada aturan yang jelas dan sah.•Dana yang dipungut tidak disetorkan ke kas negara.
Praktik permintaan sumbangan dengan nominal minimal ini memenuhi unsur-unsur tersebut. Ia dilakukan oleh panitia yang mengatasnamakan institusi daerah , tidak memiliki dasar hukum, dan hasilnya digunakan untuk kegiatan panitia, bukan disetor sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
3. Potensi Pelanggaran Pidana
Pungli bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan dapat masuk ke ranah pidana. Berikut adalah pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang relevan:
•Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan:"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Meskipun tidak ada ancaman fisik, surat edaran resmi dari panitia kecamatan dapat menimbulkan "tekanan psikologis" atau paksaan secara halus, terutama bagi ASN yang berada dalam struktur hierarki.
•Pasal 423 KUHP tentang Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat:"Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun."
Jika ada pejabat daerah.yang terlibat atau menyetujui edaran tersebut, pasal ini bisa menjeratnya.
Semangat memeriahkan kemerdekaan tidak boleh menabrak aturan. Cara yang benar, etis, dan sah secara hukum untuk menggalang dana adalah:
1.Transparansi Anggaran: Buat proposal kegiatan yang jelas dan transparan.
2.Sumbangan Sukarela: Edarkan surat permohonan bantuan dana yang secara eksplisit menyatakan bahwa sumbangan bersifat sukarela, tanpa paksaan, dan tidak menentukan nominal.
3.Kemitraan dan Sponsor: Jalin kerja sama dengan pihak swasta (perusahaan) melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) atau sponsor.
4.Dana Hibah/Bansos: Ajukan permohonan dana hibah atau bantuan sosial kepada pemerintah daerah jika tersedia alokasinya.
Perayaan 17 Agustus adalah milik seluruh rakyat, dan partisipasi adalah kuncinya. Namun, partisipasi harus lahir dari kesadaran dan keikhlasan, bukan dari paksaan terselubung melalui surat edaran yang menetapkan tarif. Praktik semacam ini tidak hanya mencederai semangat gotong royong, tetapi juga membuka pintu bagi praktik pungli yang memiliki konsekuensi hukum serius.
Sudah saatnya kita lebih cerdas dan taat hukum dalam merayakan kemerdekaan, agar euforianya tidak ternoda oleh tindakan yang melanggar aturan.